Ketika para pesakitan rindu bertemu, hanya satu yang mereka tuju
tempat yang bernama pulang, hingga segala kesakitanpun hilang
Aku menghela nafas panjang. Mengatur degup saat kelak kedua mata kita saling pandang. Dan yang terjadi detakku tak terkendali, aku tau di detik yang sama —saat kita hanya berjarak beberapa meter saja— detak kita saling berpacu, debar bergemuruh tak menentu.
Ini bukan pertama kali kita bertatap muka, hanya saja, kali ini rasanya berbeda. Mungkin karena dipertemuan yang saling kita nantikan ini, kita sudah mengetahui perihal perasaan masing-masing, meski tak ada satupun diantara kita yang tahu berhasil atau tidaknya.
Demi satu waktu bersamamu, aku menelan grogi yang membuncah. Aku segera mengajakmu untuk mengunjungi beberapa tempat yang sudah tersimpan dikepalaku, meski pada kenyataanya semua lenyap saat kau menatapku dan bertanya, "Kita mau kemana?" Isi kepalaku seperti diatur ulang, bukan, itu bukan karena aku tidak mempersiapkannya secara detail, hanya saja setelah denganmu aku sudah tidak ingin kemana-mana.
Kita seperti sepasang perindu yang terobati. Meski waktu yang tersedia tidak banyak, aku berusaha sebaik mungkin untuk membuatmu tertawa lebih banyak, menggengam tanganmu lebih erat dan mendekapmu penuh harap; bahwa suatu hari nanti jarak kita hanya satu tatapan mata saja.
Dan sore ini, kita kembali berdiri mematung di stasiun yang sama. Menahan segala kalut dikepala yang penuh dengan desakkan atas alasan-alasan agar tak menyegerakan kau pulang. Namun detik tetap berdetak, dan kita bukan pembunuh waktu. Aku menarik nafas panjang, sekali lagi menoleh kearahmu dan kembali mempersilahkan jarak memenuhi ruang penuh sesak.
Terimakasih karena berbesar sabar dan berjuang. Aku mencintaimu. Sesederhana itu.
Ini bukan pertama kali kita bertatap muka, hanya saja, kali ini rasanya berbeda. Mungkin karena dipertemuan yang saling kita nantikan ini, kita sudah mengetahui perihal perasaan masing-masing, meski tak ada satupun diantara kita yang tahu berhasil atau tidaknya.
Demi satu waktu bersamamu, aku menelan grogi yang membuncah. Aku segera mengajakmu untuk mengunjungi beberapa tempat yang sudah tersimpan dikepalaku, meski pada kenyataanya semua lenyap saat kau menatapku dan bertanya, "Kita mau kemana?" Isi kepalaku seperti diatur ulang, bukan, itu bukan karena aku tidak mempersiapkannya secara detail, hanya saja setelah denganmu aku sudah tidak ingin kemana-mana.
Kita seperti sepasang perindu yang terobati. Meski waktu yang tersedia tidak banyak, aku berusaha sebaik mungkin untuk membuatmu tertawa lebih banyak, menggengam tanganmu lebih erat dan mendekapmu penuh harap; bahwa suatu hari nanti jarak kita hanya satu tatapan mata saja.
Dan sore ini, kita kembali berdiri mematung di stasiun yang sama. Menahan segala kalut dikepala yang penuh dengan desakkan atas alasan-alasan agar tak menyegerakan kau pulang. Namun detik tetap berdetak, dan kita bukan pembunuh waktu. Aku menarik nafas panjang, sekali lagi menoleh kearahmu dan kembali mempersilahkan jarak memenuhi ruang penuh sesak.
Terimakasih karena berbesar sabar dan berjuang. Aku mencintaimu. Sesederhana itu.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar