Aku ingin terbang. Entah kemana.
Asal tak dapat lagi kutemukan luka dan merana.
Aku ingin terbang. Entah kemana.
Agar dapat kusudahi semua dan bahagia.
Aku ingin terbang. Terbang kesana.
Akhiri segala siksa yang menyesakkan dada.
***
Ada rasa lelah memenuhi rongga hati saat kuingat lagi apa yang telah terjadi. Rindu yang kian menjadi, sedih yang tak terobati dan sendu yang semakin menyiksa diri. Ini memang bukan kehilangan pertama yang kuhadapi, tapi sebelumnya tidak pernah serumit ini.
Aku tidak pandai meratapi kesedihan, hingga suatu ketika aku tertawa kudapati ada getir dalam dada yang menjelma awan hitam mengantarkan hujan dipelupuk mata. Menciptakan bulir-bulir jatuh yang membentuk dua anak sungai yang membasahi pipi. Aku menyerah pada kehilangan. Menangis sejadi-jadinya. Menyuarakan kekosongan yang menyiksa.
Aku tidak pandai meratapi kesedihan, hingga suatu ketika aku tertawa kudapati ada getir dalam dada yang menjelma awan hitam mengantarkan hujan dipelupuk mata. Menciptakan bulir-bulir jatuh yang membentuk dua anak sungai yang membasahi pipi. Aku menyerah pada kehilangan. Menangis sejadi-jadinya. Menyuarakan kekosongan yang menyiksa.
Ketahuilah bahwa rindu tidaklah enteng. Terlebih merindukan yang tak pernah kembali. Seperti mencaci diri sendiri, aku menyerapah agar hati mengikhlaskan kepergian ini. Jatuh sudah aku pada hati yang tak lagi mencintai. Hilang sudah asa pada raga yang tak mungkin lagi menyapa. Habis sudah harap pada dekap yang tak lagi akrab.
Ingin sekali rasanya menyayat nadi, karena kehilangan ini hidup terasa mati.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar