Rabu, 06 Agustus 2014

Rumahmu

Kuperhatikan rumahmu dari jauh, sudah sejak beberapa waktu yang lalu.

Aku akan berikhtiar untuk pergi ke rumahmu. Mengetuk pintumu yang terkunci rapat, meski aku harus memaksa membukanya nanti, setelah selesai dari perjalanan ini. Selesai dari tugas-tugas hidup ini, aku akan kembali berjalan ke sisi rumahmu.

Tidak tahu bagaimana jadinya nanti dan tidak tahu bagaimana akhirnya aku tidak bisa menemukan cara masuk ke dalam rumahmu selain memaksanya. Jika mendobrak pintumu berarti aku merusak pintu itu, aku bersedia menggantinya meski tidak lagi sama. Setidaknya aku tahu kamu menganggapku ada, meski pada akhirnya kamu akan mengusirku dari rumahmu. Aku tidak peduli, itu belum terjadi bukan?

Sepulang dari perjalanan panjang ini aku akan berdiri di depan rumahmu, mungkin dengan segenggam linggis atau bisa jadi granat tangan. Bersiaplah, aku tahu aku cukup kejam, aku hanya sudah tidak tahu lagi bagaimana cara membukanya dengan baik-baik. Jika kamu punya cara itu, katakanlah, jangan hanya diam.

Tapi bukankah kata itu tidak pernah ada? Aku sudah tidak tahu lagi cara membukanya dengan baik-baik, mungkin karena aku juga bukan orang baik-baik. Bekas peluka dalam hidupmu. Jika nanti aku melihat matamu terpicing karena cahaya matahari yang menerobos masuk, aku ingin melihatmu dalam keadaan baik-baik saja meski aku telah merusak pintu rumahmu. Setidaknya jika kamu mengusirku, aku mendengarmu mengatakan bahwa kamu ingin sendiri.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar